Jakarta, Seringkali seseorang merasa dirinya tak berarti di dunia ini. Padahal, sebaliknya, dengan seseorang merasa hidupnya berarti bagi orang lain dan memiliki tujuan hidup, kondisi kesehatannya disebut bisa lebih baik dan panjang umur.
Peneliti di Mt. Sinai St. Luke's-Roosevelt Hospital, New York City, menyebutkan seseorang yang memiliki tujuan hidup dan merasa dirinya berarti untuk orang lain memiliki kesehatan jantung yang lebih baik. Meski belum jelas bagaimana hubungan antara kedua hal itu, tapi peneliti menekankan penanaman arti diri pada seseorang bisa membantu meningkatkan status kesehatan meraka.
Untuk mengetahui hubungan tujuan dan arti hidup yang dimiliki seseorang, peneliti menganalisis sepuluh studi sebelumnya terhadap 136.000 orang dari Amerika Serikat dan Jepang dengan rata-rata usia 67 tahun. Selama diamati sekitar tujuh tahun, lebih dari 14.500 relawan meninggal. Kematian disebabkan berbagai hal dan sekitar 4.000 kasus disebabkan karena serangan jantung, stroke, atau kondisi yang berhubungan dengan jantung.
"Tapi, kami menemukan bahwa orang yang melaporkan mereka memiliki tujuan jelas dalam hidupnya dan merasa berarti bagi orang lain, mempunyai risiko 20 persen lebih rendah untuk meninggal selama periode penelitian," tutur salah satu peneliti, Alan Rozanski seperti dilaporkan HealthDay dan dikutip dari Newsmaxhealth, Senin (7/12/2015).
Selain itu, orang-orang yang mengatakan hidupnya lebih berarti juga berisiko lebih rendah mengalami masalah terkait jantung. Rozanski menekankan, studi ini tidak membuktikan adanya hubungan sebab akibat antara rasa berarti dalam hidup dengan waktu hidup yang lebih lama. Sehingga, meski penelitian lanjutan diperlukan, tapi setidaknya studi ini bisa membantu seseorang melindungi tubuhnya dari respons terhadap stres, dengan kata lain mempromosikan gaya hidup sehat.
"Dari catatan kami, memiliki tujuan hidup yang kuat dan merasa dirinya berarti sudah diduga sebagai dimensi penting dalam kehidupan. Dengan begitu, orang bisa merasa memiliki kekuatan, motivasi, dan ketahanan. Tapi, implikasi medis dari rasa berarti dalam hidup masih baru-baru saja menarik perhatian peneliti," terang Rozanski.
Rozanski melanjutkan, temuan itu sangat penting karena bisa membuka intervensi baru untuk membantu seseorang meningkatkan status kesehatan dan kesejahteraannya. Studi ini diterbitkan dalam jurnal Psychosomatic Medicine: Journal of Biobehavioral Medicine
Buka Link Disini tjoyyy
musi
Senin, 07 Desember 2015
Minggu, 06 Desember 2015
Alergi WiFi, Apakah Hipersensitif Gelombang Radio Nyata?
Jakarta, Gelombang elektromagnet bagi beberapa orang bisa dianggap menjadi penyebab masalah. Mereka yang tadinya sehat tiba-tiba saja menjadi sakit kepala, pusing, dan mengalami iritasi kulit layaknya orang yang mengalami alergi.
Kondisi tersebut oleh World Health Organization (WHO) dinamai electromagnetic hypersensitivity (EHS). Diketahui kasus terbaru dari kondisi tersebut menimpa seorang gadis 15 tahun di Inggris yang dilaporkan media setempat bunuh diri karena tak tahan sinyal WiFi di sekolahnya.
Survei dari beberapa orang yang mengaku memiliki kondisi EHS menunjukkan gejala dapat muncul ketika mereka dekat dengan benda yang mengeluarkan sinyal radio seperti telepon seluler, layar komputer, dan pemancar WiFi.
Namun demikian benarkah penyakit EHS betul-betul ada? Ulasan pustaka yang menelaah 46 studi di jurnal Bioelectromagnetics menunjukkan orang dengan EHS tak bisa menentukan pasti ada atau tidaknya paparan gelombang ketika mereka dipapar diam-diam.
WHO juga dalam situsnya menulis bahwa EHS adalah kumpulan dari gejala yang tak spesifik dan EHS-nya sendiri bukan merupakan sebuah kondisi medis.
"Orang yang bilang bahwa dirinya punya EHS jelas sedang sakit. Tapi sains menunjukkan bukan sinyal elektromagnet yang menyebabkan penyakitnya," kata psikolog senior sekaligus peneliti EHS dr James Rubin dari King's College London kepada livescience dan dikutip Senin (7/12/2015).
Rubin pada tahun 2009 telah meneliti berbagai gejala dan pemicu EHS di lebih dari 1.000 kasus. Dalam tulisannya itu Rubin menemukan bahwa eksperimen yang berulang dalam ruang terkontrol gagal mereplikasi fenomena.
Oleh karena itu WiFi tak jadi tersangka utama dalam EHS. Menurut Rubin ada faktor lingkungan lain yang berbeda untuk tiap individu dan menjadi pemicu gejala.Link Artikel
Kondisi tersebut oleh World Health Organization (WHO) dinamai electromagnetic hypersensitivity (EHS). Diketahui kasus terbaru dari kondisi tersebut menimpa seorang gadis 15 tahun di Inggris yang dilaporkan media setempat bunuh diri karena tak tahan sinyal WiFi di sekolahnya.
Survei dari beberapa orang yang mengaku memiliki kondisi EHS menunjukkan gejala dapat muncul ketika mereka dekat dengan benda yang mengeluarkan sinyal radio seperti telepon seluler, layar komputer, dan pemancar WiFi.
Namun demikian benarkah penyakit EHS betul-betul ada? Ulasan pustaka yang menelaah 46 studi di jurnal Bioelectromagnetics menunjukkan orang dengan EHS tak bisa menentukan pasti ada atau tidaknya paparan gelombang ketika mereka dipapar diam-diam.
WHO juga dalam situsnya menulis bahwa EHS adalah kumpulan dari gejala yang tak spesifik dan EHS-nya sendiri bukan merupakan sebuah kondisi medis.
"Orang yang bilang bahwa dirinya punya EHS jelas sedang sakit. Tapi sains menunjukkan bukan sinyal elektromagnet yang menyebabkan penyakitnya," kata psikolog senior sekaligus peneliti EHS dr James Rubin dari King's College London kepada livescience dan dikutip Senin (7/12/2015).
Rubin pada tahun 2009 telah meneliti berbagai gejala dan pemicu EHS di lebih dari 1.000 kasus. Dalam tulisannya itu Rubin menemukan bahwa eksperimen yang berulang dalam ruang terkontrol gagal mereplikasi fenomena.
Oleh karena itu WiFi tak jadi tersangka utama dalam EHS. Menurut Rubin ada faktor lingkungan lain yang berbeda untuk tiap individu dan menjadi pemicu gejala.Link Artikel
Langganan:
Postingan (Atom)